Archives for posts with tag: #30harimenulis

Day 10 #30harimenulis

*

Seperti banyak warga Jakarta lainnya, salah satu akun Twitter yang saya follow adalah @tmcpoldametro. Dengan lebih dari 208 ribu pengikut, TMC Polda Metro Jaya menjadi sumber informasi yang pertama saya cek ketika akan menjajal buasnya lalin ibu kota dan ketika perjalanan terhambat karena macet berat. Lucu sebenarnya. Seakan-akan seandainya saja saya mengetahui mengapa jalanan macet bisa membuat jalanan itu menjadi tiba-tiba lancar.

Kata orang ada beberapa cara untuk mendapatkan banyak followers di Twitter. Salah satunya adalah seperti TMC, dengan memberikan informasi yang relevan, dan juga dengan menjadi platform untuk orang menyampaikan informasi. Ada juga orang-orang seperti Guy Kawasaki yang mengumpulkan banyak pengikut dengan menjadi kurator bahan yang menarik di internet. Ada yang diikuti banyak orang karena memang dia ahli dalam satu hal, dan dia secara konsisten nge-tweet tentang hal-hal seputar keahliannya itu. Dan tentu saja, ada juga yang diikuti orang karena dia memang selebriti di kehidupan nyata.

Oh, dan ada juga yang secara tidak sengaja menjadi tenar. Fifteen minutes of fame yang tidak diinginkan. Contohnya Mr. Timothy C. Poldaski. Saya bisa membayangkannya mencoba-coba Twitter, penasaran. “Apaan sih yang diomongin anakku ini?” begitu mungkin pikirnya. Lima menit setelah signup mungkin dia langsung menerima mention. Pertama-tama mungkin dia merasa senang, “Wah, ternyata ada juga teman yang kenal aku di sini.” Kemudian mungkin dia merasa kesal, karena ternyata mention ke dia dalam bahasa yang dia tidak mengerti. Kemudian, mention kedua masuk, dan ketiga, dan keempat, dan seterusnya.

Mungkin dia langsung merasa eneg dengan Twitter. “Ah, isinya SPAM semua!”

Atau, bisa juga dia penasaran sekali, dan mencoba menerjemahkan isi pesan yang tidak dimengerti melalui Google. Setelah setengah jam, dia sadar bahwa pesan yang diterima adalah tentang lalu lintas di Jakarta. Mungkin pada saat itulah dia memutuskan bahwa Twitter penuh dengan orang-orang absurd, dan kalau cukup sudah petualangannya di sini.

Inilah akibatnya kalau nama akun di Twitter yang kita pilih @tmcpolda. Poor Mr. Timothy C. Poldaski.

Sasaran favorit pesan nyasar di Twitter

Day 9 #30harimenulis

Saat saya pertama kali menatap wajah anak saya, tidak mampu rasanya menahan air mata haru. Matanya yang masih belum terbuka, jari-jemarinya yang mungil, mulutnya yang baru saja menangis dengan kerasnya: rasa bangga bercampur was-was memenuhi dada ini. Saya bangga karena Tuhan telah memberikan saya kepercayaan yang sangat besar: untuk membimbing anak ini sampai dewasa dan memenuhi potensinya yang luar biasa. Saya was-was karena khawatir gagal dalam memenuhi amanah akbar ini.

Yang tidak saya sadari adalah bahwa ada banyak perusahaan yang menangis haru sama seperti saya. Para produsen rokok: rasa haru mereka juga dipicu oleh sebab-sebab yang sama. Mata anak saya membuat mereka tersedak gembira mengingat banyaknya mata yang belum dipengaruhi oleh branding berbudget ratusan milyar mereka. Jari-jemari dan mulut anak saya yang baru bisa menggenggam dan mengulum juga membuat produsen rokok tersedak dan meneteskan air mata. “Lihat!” kata mereka. “Dari kecil pun genggamannya sudah pas untuk sebatang rokok. Kekuatan mulutnya menghisap ASI? Wah, bayangkan betapa banyak rokok kita yang akan singgah di situ nantinya.”

Para produsen rokok juga girang hingga haru ketika menyadari anakku peremuan: kebetulan inilah target demografis mereka saat ini.

Di seluruh dunia, tinggal dua negara yang pemerintahnya masih mengambil sikap lunak terhadap para penjaja racun: Zimbabwe dan Indonesia. Mengingat betapa besarnya potensi market Indonesia, dan mengingat alternative yang sama mudahnya hanya Zimbabwe, tentu para penjaja rokok juga bangga telah mendapatkan kepercayaan dari perusahaan induk untuk menjajal potensi besar negara ini.

*

Kalau bisnis anda bergantung pada kemampuan anda untuk membunuh pelanggan terbaik anda, anda harus menjadi ahli dalam pemasaran. Anda harus terus mendapatkan konsumen baru semuda mungkin, secepat mungkin, sebanyak mungkin. Maka itu saya mengernyit ketika mendengar juru bicara satu perusahaan rokok mengatakan “Rokok itu berbahaya. Kita harus memastikan anak-anak tidak menyentuhnya.” Ketika ditanya bagaimana dengan orang dewasa, dia melanjutkan, “kalau orang dewasa semestinya sudah dapat mengambil keputusannya sendiri.”

Unik. Dia seperti mengatakan kalau iklan dan segala usaha public relations yang dia lakukan itu tidak ada pengaruhnya terhadap keputusan calon korban/pembeli.

Jadi, selama ini anda menjadi salah satu media buyer terbesar di Indonesia hanya untuk iseng saja?

*

Dari jaman baheula, cara industri rokok beriklan sudah sering disorot. Sayangnya di Indonesia gerakan anti-rokok belum dapat menyerap jagoan-jagoan dari industri kreatif. Mungkin mereka takut di-blacklist oleh industri rokok dan kehilangan potensi sumber pendapatan? Iklan anti-rokok di Indonesia selama ini terasa hambar dan belum mengigit.

Kenapa belum ada iklan anti-rokok seperti ini di Indonesia?

Gerakan anti-rokok yang lemah, peraturan pemerintah yang seadanya, warning label yang memble (warning label kita lengkap tapi bertele-tele; bandingkan dengan warning label luar negeri: smoking kills), iklan rokok yang ada di mana-mana, semuanya menciptakan lingkungan yang mendukung untuk penjual rokok untuk berpesta pora di Indonesia.

Belum lagi pendekatan cuci otak yang lebih halus. Coba saja lihat tenants Sampoerna Strategic Square. Dental Clinic (gak apa-apa merokok, kalau rusak mulutnya, kan ada dokter giginya…), Boehringer-Ingelheim Pharmaceuticals (… obatnya juga pasti nanti ada kok …), Medsite (… malah kalau sakit karena merokok bisa berobat di sini …), Manulife (… dan kalau anda akhirnya mati meninggal karena rokok, yang penting kan sudah ada asuransi jiwa, jadi keluarga gak repot).

Parahnya, pre-school pun ada di situ. Frequency and intensity: dua faktor yang menentukan dalam efektifitas suatu usaha. Bayangkan apa yang terjadi ketika anak anda berkunjung ke Gymboree di Sampoerna Strategic Square tiga kali seminggu. Dari kecil dia sudah dibiasakan dengan nama Sampoerna dan dalam konteks yang menyenangkan pula. Frequency and intensity. Inilah pre-conditioning dimulai dari usia sedini mungkin. Satu-satunya cara untuk mulai lebih awal lagi adalah untuk mulai memberikan les pre-natal care untuk ibu-ibu hamil. Mungkin disuplementasi dengan rekaman yang dapat meningkatkan IQ bayi: Beethoven yang di sela-sela simphoninya terdengar “brought to you by Sampoerna.”

*

Mungkin sebagian dari tulisan membuat saya tampak meracau. Sayangnya, inilah yang sedang terjadi saat ini. Tanggal 27-29 Oktober 2010, konferensi besar para jagoan tembakau berjalan di Jakarta, dan kita tidak melakukan apapun tentangnya. Bahkan, terdengar bahwa perwakilan dari Kementrian Pendidikan Nasional pun hadir, entah untuk apa. Saya pun tak habis pikir, “Cara yang aneh untuk merayakan Hari Sumpah Pemuda.”

Day 8 #30harimenulis

Katanya sih kalau mencari kayu di pedalaman Bangladesh, anda harus memakai topeng yang dikenakan di belakang kepala. Dengan demikian, anda seperti memiliki dua wajah. Satu tetap menatap ke depan untuk memastikan anda berjalan di jalan yang benar. Satu lagi—muka topeng tadi—menghadap ke belakang. Menurut penduduk lokal, harimau suka menyerang dari belakang, dan dengan topeng di belakang kepala, harimau akan jadi ragu untuk menyerang.

Masa sih?

Apakah harimau yang lapar atau merasa terdesak akan menghentikan serangannya karena keburu ketahuan? Hayo, mau nyerang ya? Saya rasa harimau bukan hewan pemalu seperti itu. Tapi memang harimau jarang menyerang manusia tanpa provokasi. Biasanya malah akan menjauh sebisa mungkin kalau ada makhluk perusak hutan seperti kita mendekatinya. Mungkin kepercayaan tentang khasiat strategi topeng terbalik tadi tetap ada karena selama ini yang melakukannya belum pernah diserang harimau. Padahal, harimaunya memang tidak pernah mau menyerang. Pakai topeng maupun tidak, harimau memang tidak tertarik

*

Seperti selayaknya seorang ibu pada anak laki-laki pertamanya, Ibu selalu punya nasihat untuk saya. Nasihatnya itu-itu saja, namun sering diulang-ulang; mungkin karena saya sering lupa.

Flossing itu lebih penting dari sikat gigi.”

”Kamu tuh rahangnya rada kecil, tapi giginya besar-besar. Kalau cari jodoh nanti cari yang rahangnya sedikit besar tapi giginya kecil-kecil, biar anak kalian bagus pertumbuhan giginya.”

Dari TK nasihatnya itu-itu lagi. Selalu seputar gigi dan mulut. Mungkin karena beliau dokter gigi. Setiap kali ada kejadian lucu dan beliau ada di dekat saya, saya harus mengempiskan tawa saya menjadi sebuah senyum, karena saya merasa setiap kali beliau melihat gigi saya, beliau akan berkomentar, “Itu giginya kayaknya perlu dicabut.”

Sebagian besar nasihatnya tidak pernah saya turuti. Saya jarang flossing (Semoga Ibu tidak sedang membaca ini. Bisa-bisa saya diganyang!). Saya dapat istri dengan perbandingan rahang dan gigi yang biasa-biasa saja (Anakku masih belum tumbuh giginya. Seperti apa ya nantinya?). Dan, saya berhasil keluar dari rumah orang tua saya dengan sebagian besar gigi masih menempel di gusi.

Ada satu nasihat Ibu tentang mulut dan gigi yang melekat hingga hari ini: ”Mulutmu harimaumu.”

Katanya sih, dari dulu memang saya doyan berbicara. Tidak peduli ada yang mendengar ataupun mengerti, saya terus saja berbicara. Dari mulai a’ a’ u’ u’ sekalipun, saya sudah tidak bisa berhenti mengoceh. Akhirnya saya menganggapnya sebagai bakat (walau mungkin yang mendengarkan menganggapnya sebagai kutukan) dan sekarang pun saya bekerja di dunia cuap-cuap. Penyiar radio. Dosen. Sales. Trainer. Professional speaker. Konsultan. Semuanya bagian dari hidup saya yang menyenangkan ini.

Bagaimanapun, tetap saja terngiang nasihatnya: ”Mulutmu harimaumu.”

Sebenarnya apa arti nasihat itu?

Apa sekedar mengingatkan seorang anak kecil untuk tidak berisik?

Apa untuk mengingatkan kalau kata-kata kita bisa menyakiti orang lain?

Apa untuk mengingatkan kalau kata-kata yang terlontar dapat kembali lagi suatu hari dan menerkam kita dari belakang seperti harimau Bangladesh?

Atau mungkin untuk mengingatkan agar saya lebih hati-hati dalam mengumbar janji?

Bisa jadi Ibu bermaksud untuk menyampaikan semua nasihat tersebut sekaligus.

Sayangnya, walau ini nasihat yang telah dihayati, masih saja dengan tidak sengaja saya langgar berkali-kali. Telah banyak janji yang dengan kesungguhan hati saya ucapkan, tapi tak berhasil saya penuhi. Telah banyak kata-kata yang terlambat saya sadari kebodohannya. Banyak sekali kata-kata terlepas dari bibir ini yang telah menyakiti perasaan orang lain.

Apalagi soal kebisingan. Pasti banyak sekali kata-kata tanpa makna berguna yang telah kuucapkan yang hanya menambah polusi audio di dunia yang sudah berisik ini.

Mulutmu harimaumu.

Baru sekitar beberapa tahun terakhir baru kusadari ada makna satu lagi yang tersembunyi dalam dua kata tersebut.

*

Apa arti tersembunyi tersebut? Nantikan kelanjutannya

Day 7 #30harimenulis

Satu-satunya orang yang pernah kulihat mengendarai harimau adalah alter ego dari seorang pangeran. Dengan kekuatan Greyskull, pangeran Adam dapat berubah menjadi He-Man, dan dengan menudingkan Power Sword ke harimau peliharaannya (yang tidak dapat ditunggangi) Cringer berubah menjadi Battle Cat (yang dapat ditunggangi). Memang He-Man itu karakter fiksi buatan pabrik mainan, tapi untuk saya saat itu, dia sama nyatanya dengan sepeda yang terpajang di etalase toko; sama-sama di depan mata dan tapi tetap tak tersentuh.

Saya dapat beberapa pelajaran tentang bagaimana cara mengendarai harimau. Pertama, anda perlu pelana. He-Man, sejantan apapun dia, tetap tak dapat mengendarai Battle Cat tanpa pelana. Ini sebenarnya petunjuk penting: bila seorang manusia ingin terhubung dengan kekuatan primal dan dapat mengendalikannya, dia butuh suatu medium penghubung. Contoh lain dari seri Masters of the Universe: pangeran Adam membutuhkan Power Sword untuk dapat menggunakan kekuatan Greyskull. Kekuatan magis itu selalu ada. Saat mengacungkan pedangnya, yang dilakukan pangeran Adam bukanlah menyalakan kekuatan Greyskull. Adam menyalurkan kekuatan yang memang selalu ada.

Ini tak jauh berbeda dengan bagaimana kita membutuhkan radio (medium) untuk menangkap gelombang frekuensi (power) yang selalu ada di udara. Demikian juga ketika melihat berbagai kesempatan melewati kita begitu saja dan hinggap di tetangga. Ini terjadi karena berbagai kesempatan selalu ada di sekitar kita. Pertanyaan tinggal siapa yang memiliki medium yang tepat untuk menangkapnya.

Pelajaran kedua yang kudapatkan dari cara He-Man mengendarai Battle Cat: dia tidak memakai kekang. Memang benar, kalau kita ingin mengendalikan kekuatan primal seperti seekor harimau / aliran dana asing untuk melawan kejahatan / membangun negeri ini, cara yang paling tepat adalah dengan mempelajari dan mengenal sifat-sifat sejati kekuatan primal itu. Mengendarai harimau tentu berbeda caranya dengan mengendarai kuda. Mengendalikan aliran dana asing yang deras juga tentu berbeda dengan mengatur tetesan dana lokal. Sama-sama berkaki empat, sama-sama bisa lari kencang, tapi yang satu bisa makan orang. Kalau kita mengambil jalan pintas dengan berusaha mengekang kekuatan primal dengan seutas tali kulit atau regulasi pemerintah, yah, siap-siap saja jatuh terjengkang dan dimangsa.

Pelajaran ketiga dari Adam/He-Man & Cringer/Battle Cat adalah tentang pemberdayaan. Kita bisa saja mengambil seekor binatang buas dan menjinakkannya, namun lantas apa gunanya? Setiap saya ke Ragunan, saya selalu kecewa melihat hewan liarnya yang sudah sama sekali tidak liar. Buset itu buaya diam aja, lebih baik buat sepatu deh.

He-Man pun menyadari ini. Dia membebaskan harimau istana yang penakut dari kekangan mental yang selama ini membelenggu, dan harimau yang menemukan kembali kebuasannya itu membalas budi He-Man dengan memberikan kehormatan tertinggi yang dapat diberikan oleh seekor predator: dia biarkan He-Man menungganginya.

Demikian juga dengan kekuatan primal yang anda ingin kendalikan. Mungkin kekuatan primal itu adalah aliran dana asing. Mungkin kekuatan itu adalah talenta anda sebagai seorang orator. Apapun juga, yang dibutuhkan untuk mengendarai harimau anda hanya tiga: pelana, pemahaman yang mendalam, dan pembebasan dengan tujuan untuk memberdayakan.

*

Sebenarnya ada satu lagi yang dibutuhkan, tapi itu besok ya? 

Day 6 #30harimenulis

Alkisah seorang anggota angkatan bersenjata sedang berkunjung ke rumah keluarga istrinya. Jasanya di lapangan telah terbukti, dan terbantu oleh hubungan keluarganya, karirnya telah melesat dan ia memiliki pangkat yang lumayan tinggi. Dorongan dalam dirinya untuk sukses kuat. Walau pada saat itu mungkin belum pernah dia pikirkan dengan serius, suatu hari nanti dia akan menjadi seorang kandidat kepresidenan. Sebenarnya pada saat itu hanya dua hal yang benar-benar bisa menghalanginya. Pertama, emosinya yang terkadang meletup-letup. Kedua, kecil kemungkinan mertuanya mau digantikan oleh siapapun sebagai presiden.

Keluarga istri sang tentara memiliki kebiasaan memelihara hewan eksotis. Salah satunya adalah seekor harimau dewasa. Ukurannya cukup besar hingga bisa menelan tiga orang anak kecil sekaligus. Harimau ini dibiarkan dengan bebas melenggak-lenggok keluar masuk rumah. Terkadang para tamu harus membiasakan diri beramah-tamah sambil menyantap hidangan yang megah dan lezat dengan santai, walaupun harimau peliharaan sedang menguap dan meregangkan tubuh di bawah meja makan.

Di kunjungannya hari itu, sang tentara kebetulan harus sendirian memojok untuk melakukan pembicaraan pribadi lewat telepon. Si harimau juga kebetulan berada di ruang yang sama. Entah apa yang memotivasinya, tiba-tiba si harimau menerkam, dan menggigit pantat sang panglima perang. Walau terperanjat, tentara itu berbalik dan memukul kepala harimau dengan gagang telepon. Saat harimau melepaskan gigitannya, tentara itu pun mengejar harimau itu sambil terus memukulinya dengan gagang telepon.

”Baru kali ini,” cerita seorang saksi, ”gue ngelihat harimau lari terbirit-birit.”

Day 5 #30harimenulis

Banjir di Jakarta yang semalam mematikan gerak lalu lintas ibukota telah surut. Pukul lima pagi ini ada beberapa tempat yang masih terendam (seperti beberapa ruas jalan kecil di daerah Buncit) dan tempat-tempat yang baru surut airnya (seperti di dekat Gandaria City). Langit sudah kembali biru dan mobil-mobil pribadi sudah mulai keluar dari sarangnya, seperti rayap yang siap menggerogoti pilar-pilar kesabaran warga Jakarta.

Saat saya sibuk mengarungi luapan air got semalam, sempat tergoda untuk membayangkan betapa asyiknya bila saya memiliki tongkat Nabi Musa. Kita semua memiliki radio internal yang bisa menangkap frekuensi keTuhanan, dan kita dapat merubah frekuensi itu menjadi keyakinan, kata-kata, dan tindakan. Nabi Musa dan tongkatnya berbeda. Dia dapat merubah frekuensi itu menjadi kekuatan luar biasa yang dapat membelah samudra.

Bila saya memiliki kemampuan itu, pasti tidak perlu basah-basah berendam dalam air sumber penyakit ini. Wah, kalau punya kekuatan seperti itu, macet pun tak perlu. Akan saya belah kemacetan Jakarta agar perjalanan lebih lancar.

Ada-ada saja.

Jaman nabi-nabi sudah lewat tapi tetap saja banyak yang menantikan keajaiban untuk terjadi. Orang-orang di Amerika, misalnya. Dalam perjalanan mereka keluar dari resesi, tetap saja mereka berharap agar The Feds mengeluarkan suatu mukjizat yang dapat tiba-tiba mengurangi periode derita mereka, seakan-akan suku bunga adalah tongkat Musa yang tinggal diketuk saja untuk membawa mereka ke tanah yang dijanjikan. Mereka terbiasa membelanjakan lebih banyak dari yang mereka hasilkan. Saat ini mereka hanya membelanjakan 94% dari penghasilan total, dan ini membuat mereka kocar-kacir. Betapa menderitanya hidup kita saat ini! jerit mereka.

Mereka menginginkan mukjizat untuk dikembalikan ke dalam kemaksiatan. Lucunya, kalau bisa, pasti Washington sudah memenuhi keinginan ini. Tapi Washington tidak bisa. Jaman nabi-nabi sudah lewat.

*

Kita pun sama saja. Kita duduk sendirian di dalam mobil pribadi—atau mungkin hanya ditemani supir—dan kita berkoar-koar kalau pemerintah Jakarta harus mengurangi kemacetan. Kalau saja kita menangkap betapa ironisnya situasi ini, mungkin kita bisa sedikit menikmati kemacetan dengan mentertawakan diri sendiri.

Padahal banyak yang bisa kita lakukan. Bersepeda di Jakarta memang bukan cara bergerak yang paling aman, tapi tetap menjadi opsi. Kendaraan umum juga bukan opsi yang paling nyaman, tapi bila para pengendara mobil berbondong-bondong memakai kendaraan umum secara konsisten untuk periode yang cukup lama, pemerintah akan tergerak untuk melakukan sesuatu. Saat kata-kata tak lagi cukup untuk mendorong pemerintah untuk berubah, saatnya untuk aksi, dan semua aksi yang baik dimulai dari diri sendiri. Saat komat-kamit tak mempan, saatnya untuk komit.

Atau, kalau kita sedemikian alerginya terhadap kendaraan umum yang sepertinya dapat menurunkan derajat sosial seseorang, setidaknya kita bisa membuat kendaraan pribadi kita sedikit lebih umum. Layak dicoba: setiap anda datang ke tempat pertemuan, umumkan kapan dan ke arah mana anda berencana akan pergi setelah meeting ini, dan tawarkan kesempatan pada mereka yang mendengar untuk ikut dengan anda. Siapa tahu bisa carpool sampai ke tempat tertentu.

*

Jaman nabi-nabi memang telah lampau. Sayangnya kita tak sadar kalau kita tidak butuh lagi mukjizat untuk menuju tanah yang dijanjikan. Tindakan nyata dan konsisten dari setiap orang, itu saja yang dibutuhkan.

Day 4 #30harimenulis

*

Tadi pagi saya sengaja mengenakan pakaian yang sedikit lebih stylish. Selain kegiatan biasa, mengajar di sebuah universitas dan siaran, ada dua pertemuan penting yang membutuhkan penampilan jaim.

Kemeja yang menurut labelnya dijahit By Appointment to Her Majesty The Queen dan manset yang saya beli di Tokyo; suit jacket abu-abu jahitan Pak Lawrence, tailor terbaik di Jakarta yang di tengah kesibukannya melayani para ambasador asing telah menyempatkan diri menyiapkan suit khusus untuk saya; jeans coklat Burberry. Sepatu koboi kulit ular, oleh-oleh dari Calgary, Canada. Entah kenapa, segala benda ini membuat saya merasa sedikit lebih spesial.

Ada-ada saja.

Saat ini, kemeja dan suit yang saya sebutkan tadi sudah basah kuyup dan terlilit di lengan kiri. Boots ular juga basah kuyup, dan ada di tangan kanan. Jeans coklat telah dilipat setinggi lutut agar tidak terendam banjir di daerah Kuningan: usaha yang sia-sia.

Saya berdiri di bawah guyuran hujan, menggigil dengan memakai baju serep yang juga sudah basah kuyup. Di samping saya ada seorang anak kecil yang menawarkan servisnya sebagai ojek payung. Kaos merahnya sama basahnya dengan kaos yang saya kenakan. Bibirnya menggigil, sama juga dengan bibir saya.

Saat saya menangkap matanya dengan mata saya, dia tersenyum. Dia melihat sudah tidak ada gunanya menawarkan payungnya pada saya. Kami sudah sama-sama dibasahi air hujan dan air cipratan mobil yang lewat di hadapan.

Ada sesuatu yang indah dengan saat ini. Kami warga Jakarta dipersatukan dalam satu kondisi. Disatukan derita? Entahlah. Senyumnya tidak tampak menderita. Demikian juga dengan senyum yang menghiasi bibir saya yang membiru.

Saya melanjutkan perjalanan kaki menembus hujan di ibu kota tercinta ini. Di ujung jembatan penyeberangan, saya temukan seorang peminta-minta bertangan satu duduk tergeletak. Lengannya yang masih ada terjulur ke depan, seakan memohon uang keprihatinan dari yang lalu-lalang di depannya, namun tak ada permintaan tolong dari mulutnya. Yang saya dengar darinya hanyalah keluhan dan omelan tentang kemacetan Jakarta.

Lucu, saya pikir, dia hanya duduk di sini, tak pernah sedikitpun merasakan sensasi kemacetan di kursi pengemudi. Tapi, dia pun tak mau ketinggalan untuk mengeluh tentang kemacetan.

Itulah keindahan kemacetan akibat banjir Jakarta. Pengemis pun dapat mengeluhkan dan menggerutu tentang hal yang sama dengan yang kaya.

Saya berdiri sekitar 30 meter dari tempat ini selama sekitar 1.5 jam menantikan taxi/ojek. Transjakarta tidak berfungsi

Tidak ada ojek, karena Senopati sekalipun terendam

Hero Kemang bisa menjadi tempat beli ikan paling fresh!

Day 3 #30harimenulis

*

Saya tiba-tiba terjaga dari tidur ketika kendaraan umum yang saya tumpangi berhenti mendadak. Sepertinya kami menabrak atau ditabrak sesuatu. Seperti penumpang lainnya di kendaraan yang cuma seperempat penuh itu, saya pun mencari tanda-tanda sebab kenapa kami terhenti. Sang supir sudah turun dari kursi pengendara, dan ada seorang polisi berseragam lengkap berdiri di sampingnya.

”Wow, cepat sekali polisi ini tiba di lokasi,” saya terkagum-kagum. Di luar tampak kemacetan menghambat laju aliran kendaraan yang sedang mengalir dari Bandung ke Jakarta di Senin pagi itu.

Pak Polisi dan Pak Supir berdua berjalan menuju ke mobil kecil yang nampaknya telah menabrak kendaraan umum kami.

Plat nomor mobil itu berwarna hitam, dengan satu bintang dan angka-angka berwarna perunggu. Ternyata Pak Polisi tadilah yang telah menabrak kendaraan kami.

Dua menit kemudian Pak Supir kembali duduk di kursinya. Dia terlihat bingung dan gusar pada saat bersamaan.

“Dia yang menabrak, kok SIM saya yang ditahan?“ katanya.

Sekilas dia menengok ke belakang, dan kemudian segera membawa kendaraan kami dengan sangat agresif, keluar masuk dan memaksakan menyalip kendaraan-kendaraan yang dengan lambat bergerak di jalan tol itu.

”SIM saya dibawa! Dibawa!“ katanya panik.

Ternyata ketika Pak Supir berdiri di luar tadi, Pak Polisi memerintahkannya untuk menyerahkan SIM-nya. Kemudian, Pak Supir diminta kembali ke dalam kendaraan. Saat itu, Pak Polisi langsung pergi meninggalkan lokasi.

”Kalau gak ada SIM, saya boleh kerja!” lanjut Pak Supir dengan panik. Dia masih menyetir dengan agresif, mencari-cari mobil polisi yang tadi.

Para penumpang pun mulai brainstorming cara membantu Pak Supir. Mulai dari melaporkan ke media, sampai menggunakan backing yang ada di Mabes, hingga mengumpulkan uang untuk membantu Pak Supir membuat SIM baru. Pilihan satu dan dua sedikit susah, karena Pak Supir tidak tahu nama Pak Polisi. Tinggal pilihan ketiga.

Sembari diskusi, saya menelepon kantor penyedia kendaraan umum ini untuk melaporkan kejadiannya. Setidaknya semoga bisa mengurangi masalah Pak Supir.

Sekitar lima kilometer kemudian kami temukan mobil Pak Polisi sedang meluncur dengan lambat. Mungkin dia memang sengaja menunggu kami.

Kendaraan Pak Polisi dan Pak Supir menepi. Seorang penumpang berkostum ustad (kopiah putih, sedikit berjenggot, berbicara dengan banyak bumbu bahasa Arab) mengatakan kepada Pak Supir, ”Sudah, sama-sama saya turunnya. Nanti kita minta maaf.”

Mereka berdua turun mendekati mobil Pak Polisi. Beberapa menit kemudian mereka kembali lagi. Pak Supir terlihat puas dengan SIM kembali di tangan. Pak Tampak-Seperti-Ustad juga tampak puas. ”Alhamdulillah,” katanya.

Di negara ini, mungkin inilah kondisi terdekat dengan sebuah happy ending yang bisa kita bayangkan. Sayang sekali.

Saya sendiri masih bertanya-tanya, kira-kira bagaimana mereka meminta maaf kepada Pak Polisi?

”Pak, maaf sekali tadi kami ditabrak bapak.”

Dan bagaimana Pak Polisi kira-kira menjawab?

”Iya, makanya! Awas lho, jangan sampai lain kali ditabrak saya lagi!”

? ? ?

SIM dikembalikan oleh polisi

Day 2 #30harimenulis

*

Salah satu langkah dasar dalam perlindungan melawan tukang sihir Eropa adalah untuk memastikan dia tidak pernah mengetahui nama sejati kita. Seperti apapun saktinya si tukang sihir, seperti apapun menyeramkannya kekejaman si ahli ilmu hitam itu, dia tidak bisa mengalahkan kita kalau dia tidak tahu nama sejati kita. Setidaknya, itulah salah satu pelajaran berharga yang saya saring sedari kecil dari dongeng-dongeng kesukaan. Nama sejati kita mungkin berbeda dari nama yang digunakan orang lain untuk memanggil kita, namun ia adalah nama yang kita gunakan untuk memanggil diri kita sendiri di dalam hati. Nama sejatilah definisi autentik siapa kita sebenarnya. Saat kita mengenal diri kita yang sejati, kita memiliki kontrol sepenuhnya akan diri kita. Demikian pula saat kita mengenal kesejatian diri orang lain. Kita memiliki kontrol penuh akan dirinya.

Sedemikian kuatnya kah makna nama?

Setiap orang tua pasti tak asing dengan banyaknya pertimbangan yang harus diperhatikan ketika akan memilih nama anaknya. Demikian juga mereka yang telah mendirikan perusahaan sendiri. Harus memuaskan stakeholders (ortu / mertua / pemegang saham), harus praktis (tidak mudah diplesetkan menjadi kata-kata tak senonoh di sekolah / tidak menyulitkan pada saat ingin mendapatkan visa / mudah diingat oleh pelanggan), dan harus menggambarkan nilai-nilai dan impian para orang tua / pendirinya.

Adakalanya saat seorang anak tumbuh dewasa, dia mengadopsi nama baru. Demikian juga dengan sebuah perusahaan. Dia pun mengeluarkan biaya yang tidak kecil untuk membaptis dirinya dengan nama yang baru. Proses rebranding memberikan wajah baru untuk dunia. Rebranding juga menjadi remah-remah yang ditaburkan sebagai petunjuk pengingat arah perjalanan untuk dirinya sendiri / karyawannya.

Sedemikian kuatnya kah makna nama?

Bagaimana bila kita merubah ”pemerintah” dengan kata yang lebih dekat dengan padanan bahasa Inggrisnya: ”government.” Mungkinkah pemerintah kita akan mengurangi kecenderungannya untuk memerintah, dan meningkatkan kegiatannya untuk memelihara?

Bagaimana dengan ”pegawai negeri?” Kalau kita cari kata yang lebih mirip ”civil servant,” apakah pegawai negeri akan jadi lebih beradab dan lebih meningkatkan usahanya dalam melayani masyarakat secara memuaskan?

Kalau ”Komisi DPR” diganti dengan kata yang lain, apakah mereka akan lebih memperjuangkan aspirasi orang-orang yang diwakilinya, dan bukan sibuk memperjuangkan kepentingannya untuk mendapatkan komisi dari proyek-proyek?

Ini bukan kritik terselubung lho. Cuma berandai-andai saja.

Tekadang saya bercanda—dengan tidak sepatutnya—ketika melihat kericuhan mahasiswa Makassar: ”Mak-nya aja Kasar, apalagi anak-anaknya.”

Walau saya bercanda ketika mengatakannya, sebenarnya saya bertanya-tanya: apakah mereka terdorong untuk ”berjuang” karena mereka bersekolah di perguruan tinggi yang memakai nama seorang pejuang?

Entahlah.

Mungkin sebagai bangsa kita perlu bersama-sama mulai memikirkan kembali nama-nama yang kita gunakan untuk memanggil diri kita sendiri. Entah dongeng apa yang sedang kita ceritakan pada diri sendiri. Yang jelas, dongeng ini bertambah seram ketika bangsa ini tersadar bahwa kita telah lupa nama sejati Indonesia.

Day 1 #30harimenulis



Cara memasuki ruangan.  Cara bertatap mata.  Cara berjabat tangan.

Dari tiga hal sederhana ini, kita akan dikelompokkan oleh seseorang yang baru saja kita kenal ke dalam salah satu kategori buatannya sendiri.  Macam-macam kategorinya tergantung pada dorongan hewani yang telah terbentuk oleh proses evolusi yang termutasi oleh pengalaman pribadinya sejak lahir.

Itu juga yang saya lakukan ketika bertemu seseorang yang baru.

Terkadang pengalaman seterusnya dengan orang yang baru dikenal itu akan membuat saya menampik kesan pertama yang telah hinggap.  Namun, sering kali pengalaman seterusnya malah memperkuat kesan perdana.

Kesan pertama yang saya dapatkan saat berjabat tangan dengan Pak J, anggota DPRD dari salah satu daerah Indonesia Timur: seperti menggenggam tangan hantu.  Tangannya ringan, tanpa substansi, dan sedikit terlalu halus untuk seorang lelaki.  Perlu flexibilitas mental extra untuk menjaga agar karakternya jangan dulu tergelincir masuk ke dalam salah satu sumur gelap kategorisasi.

“Tahan dulu penilaianmu,” ujar saya dalam hati.  “Akan sulit bekerja sama dengan seseorang yang tidak kita hargai, dan siapa tahu suatu hari nanti kita akan perlu kerja sama dengannya.”

Saat itu saya sedang menantikan calon yayasan rekanan di kafetaria Nusantara 1.  Kita akan bersama-sama melobi salah satu perwakilan daerah Indonesia timur—bukan Pak J—untuk menghentikan explorasi tambang emas yang sudah mulai dilakukan oleh suatu perusahaan Australia di sebuah taman nasional.  Saya ditemani oleh Pak V.  Jahitan luka berbentuk bulan sabit di kepalanya—hadiah dari keroyokan massa di daerah Ketapang seminggu yang lalu—seperti sebuah tanda pengabsahan bahwa dia layak hadir di gedung beratap punggung kura-kura ini. Dia nampak nyaman dilingkungan ini.

Entah apa antonim dari kata ”nyaman” tapi itulah yang saya rasakan pada saat itu.

Mungkin cara orang-orang di sekitar bercakap-cakap: hangat, bersahabat, bibir dihiasi senyum, namun mata penuh kalkulasi.  Mungkin athmosfeel kafetaria itu sendiri, yang menyesakkan seperti dipenuhi asap rokok, walau tak ada satupun orang di meja sekitar yang memegang rokok.  Entah apa sebab utamanya, namun saya tidak bisa berhenti menggeserkan pantat di atas kursi, manifestasi dari ketidaknyamanan.

Saat Pak J datang menyapa Pak V dan mempersilahkan dirinya sendiri untuk duduk di meja kami, saya berhasil menahan diri dari memberikan penilaian pertama padanya.  ”Di tempat tak nyaman seperti ini, bertemu siapapun, penilaian pertama pasti akan bias ke arah negatif,” begitulah rasionalisasi saya.

Sesungguhnya saya ingin merasa nyaman di tempat itu.  Saya ingin merasa nyaman di dekat Pak J.  Pak J dan orang-orang lain yang ada di kafetaria itu adalah orang-orang yang telah dipilih oleh saudara-saudara sebangsa.  Merekalah perwakilan kami, dan perwakilan saudara-saudara saya otomatis menjadi perwakilan saya juga.  Merekalah pejuang aspirasi kami.  Merekalah personifikasi harapan dan impian dari berbagai daerah di Indonesia.  Bila saya tak merasa nyaman di tempat itu, mungkin sayalah yang terlalu asing.  Mungkin saya telah merantau ke negeri orang terlalu lama hingga saya bukan lagi bagian dari ”kami” dan ”kita”-nya Indonesia.

Saya sengaja menenggelamkan diri dalam pemikiran-pemikiran yang setengah absurd ini agar tak usah memperhatikan Pak J.  Ini satu-satunya cara agar saya dapat menahan diri dari mengelompokkannya ke dalam kategori yang buruk.  Toh, penilaian tak akan bisa objektif karena pengaruh lingkungan sekitar pada saat itu.

Sepertinya kami bertiga sedang terlibat dalam suatu pembicaraan, entah apa.  Saya hanya tersenyum dan mengangguk, dan itu sudah cukup memuaskan Pak J untuk terus berbicara.

Dan dia terus bicara.

Dan bicara.

Dia mengambil sebatang tusuk gigi dari tengah meja.  Sembari menekankan ujung kayu kecil yang tajam itu di antara giginya, dia terus berbicara.

Dan bicara.

Dan mengorek-korek.

Dan bicara.

Dia berhenti sebentar untuk memperhatikan potongan makanan apa saja yang sudah tertancap di ujung tusuk gigi.  Dengan jempolnya ia dorong serpihan-serpihan makanan yang melekat.  Setelah semua kotoran terlepas pun jempolnya masih mendorong-dorong ujung kayu yang telah menghitam itu, seolah tengah mengasah sebuah perkakas kesayangan.  Matanya terfokus ke ujung jempolnya yang sedang sibuk bekerja, dan walau saya berusaha membuang muka, mata tetap tak bisa lepas dari apa yang sedang dilakukannya.

Akhirnya dia puas.  Dia mengangkat wajahnya untuk meneruskan pembicaraan.  Kata-kata mulai kembali meluncur dengan bebasnya, tanpa terhalang tusuk gigi.  Saya mulai memberanikan diri menatap wajahnya saat berbicara.  Saat itulah dia memasukkan tusuk gigi yang sudah dibelai-belai jempolnya ke dalam telinga kanannya.

Dan dia terus berbicara.

Dan mengorek-korek.

Dan bicara.

Dia melihat mata saya yang terbelalak ngeri dan mengartikannya sebagai sinyal bahwa saya tertarik dengan apa yang sedang dibicarakannya.  Dengan penuh semangat, dia meningkatkan intensitas pembicaraannya.  Dan korekannya.

Bila ada yang mencubit saya pada saat itu sekalipun, kurasa saya tak akan sadar.  Seluruh realita pribadi pada saat itu terfokus pada tangannya yang besar yang dengan giatnya memutar-mutar ujung tusuk gigi di dalam lubang telinganya.

Ada pikiran kecil yang bermain-main di otak saya: Pantesan pemerintah gak dengerin rakyat.  Tingkahnya kayak gini gimana bisa gak budeg!

Pak V menyenggol saya dengan sedikit kencang, dan saya pun menutup mulut yang tengah ternganga.

”Ayo, Pak Ghani.  Sepertinya teman-teman dari yayasan rekanan sudah sampai,” katanya.

Kami pun berdiri.  Sambil berpikir tentang validitas dan signifikansi kesan pertama, saya raih tangan perwakilan saya itu, dan saya ucapkan selamat tinggal.