Day 4 #30harimenulis

*

Tadi pagi saya sengaja mengenakan pakaian yang sedikit lebih stylish. Selain kegiatan biasa, mengajar di sebuah universitas dan siaran, ada dua pertemuan penting yang membutuhkan penampilan jaim.

Kemeja yang menurut labelnya dijahit By Appointment to Her Majesty The Queen dan manset yang saya beli di Tokyo; suit jacket abu-abu jahitan Pak Lawrence, tailor terbaik di Jakarta yang di tengah kesibukannya melayani para ambasador asing telah menyempatkan diri menyiapkan suit khusus untuk saya; jeans coklat Burberry. Sepatu koboi kulit ular, oleh-oleh dari Calgary, Canada. Entah kenapa, segala benda ini membuat saya merasa sedikit lebih spesial.

Ada-ada saja.

Saat ini, kemeja dan suit yang saya sebutkan tadi sudah basah kuyup dan terlilit di lengan kiri. Boots ular juga basah kuyup, dan ada di tangan kanan. Jeans coklat telah dilipat setinggi lutut agar tidak terendam banjir di daerah Kuningan: usaha yang sia-sia.

Saya berdiri di bawah guyuran hujan, menggigil dengan memakai baju serep yang juga sudah basah kuyup. Di samping saya ada seorang anak kecil yang menawarkan servisnya sebagai ojek payung. Kaos merahnya sama basahnya dengan kaos yang saya kenakan. Bibirnya menggigil, sama juga dengan bibir saya.

Saat saya menangkap matanya dengan mata saya, dia tersenyum. Dia melihat sudah tidak ada gunanya menawarkan payungnya pada saya. Kami sudah sama-sama dibasahi air hujan dan air cipratan mobil yang lewat di hadapan.

Ada sesuatu yang indah dengan saat ini. Kami warga Jakarta dipersatukan dalam satu kondisi. Disatukan derita? Entahlah. Senyumnya tidak tampak menderita. Demikian juga dengan senyum yang menghiasi bibir saya yang membiru.

Saya melanjutkan perjalanan kaki menembus hujan di ibu kota tercinta ini. Di ujung jembatan penyeberangan, saya temukan seorang peminta-minta bertangan satu duduk tergeletak. Lengannya yang masih ada terjulur ke depan, seakan memohon uang keprihatinan dari yang lalu-lalang di depannya, namun tak ada permintaan tolong dari mulutnya. Yang saya dengar darinya hanyalah keluhan dan omelan tentang kemacetan Jakarta.

Lucu, saya pikir, dia hanya duduk di sini, tak pernah sedikitpun merasakan sensasi kemacetan di kursi pengemudi. Tapi, dia pun tak mau ketinggalan untuk mengeluh tentang kemacetan.

Itulah keindahan kemacetan akibat banjir Jakarta. Pengemis pun dapat mengeluhkan dan menggerutu tentang hal yang sama dengan yang kaya.

Saya berdiri sekitar 30 meter dari tempat ini selama sekitar 1.5 jam menantikan taxi/ojek. Transjakarta tidak berfungsi

Tidak ada ojek, karena Senopati sekalipun terendam

Hero Kemang bisa menjadi tempat beli ikan paling fresh!