Img00026-20110923-1225

In the month of Ramadhan, muslims fast between sunrise to sunset.  Breaking of the fast at sunset is a big deal, especially in Indonesia, a country with the largest muslim population in the world.  It’s customary for restaurants, small businesses, even random strangers, to give sweet snacks or drinks to customers and passerbys at sunset.

So Coca Cola decided to do the same thing, but to get the free drink, you have to follow Coke Indonesia on Twitter.  Only after you do that will they give you a Coca Cola product.  The whole campaign is so wrong on so many levels that I wonder if anybody lost their jobs because of this.

(I know the answer is probably no, because I doubt anybody in the company realized just how ridiculous the campaign is)

Mistake #1: If you want to give, then just give. The fact that you’re asking me to do something for you EVEN WHEN EVERYBODY ELSE IS GIVING THE SAME THING FOR FREE just shows arrogance and how out of touch you are with the world.

Mistake #2: Asking someone to follow you on Twitter makes you look like a D-Bag (“Hey, I already followed you.  You have to follow me back!)  Asking someone to follow you on Twitter with the lure of something sweet makes you look like a criminal luring kids into his van with candies.

Mistake #3: The drink that you “give” is not even Coke! It’s a some shitty new tea drink that’s way too sweet for my taste. But even if it tasted like necter of ambrosia, it’s still a plain old promo of a new drink.  Damn, didn’t you use to give away samples for free?

Mistake #4: The campaign is still going on all the way past the month of Ramadhan. I took that picture on top of the post at a social media fair one month after the end of Ramadhan.  Coke please stop, you’re embarassing yourself.

Mistake #5: …you heard that right, at a Social Media Fair!  Social Media is about platform for dialogue, but you’re clearly just collecting names who’ll be there to look at your ad messages when you blast ’em out on Twitter.

Mistake #6:  Why Twitter? Even if you’re sticking with the loudspeaker model of advertising, why would you choose a medium that makes your message so fleeting? Unless of course, you’re planning on bombarding my Twitter feed with your ads.  That would just be plain evil.

Gah, somebody throw Coke the Youth Marketing Handbook!

If they’re too cheap to fork out $2 for it, then just download the free version.

I could go on and on about why this campaign is so wrong, but I wanted to know your thoughts on it.  What do you think?

 

Coca-Cola has started a search for an agency that will help the world’s most prominent beverage brand monitor what consumers are saying about it in social channels:

via EConsultancy

I think the real reason we like people who are good listeners is because they let us talk.  Sure, sometimes we want them to understand us and empathize with us, but most of the time, all we’re looking for is a face that doesn’t have a mouth that goes yappity yap all the time.  That’s why we sometimes end up telling complete strangers our whole life story.

We just want to talk.

The problem when brands start “listening” is that they’re doing that so they can have something smart to say back.  In fact, they don’t even wait until we finish our sentence.  When we talk, we have to speak over the brand’s loud volume.  Of course it’s hard for the brand to hear us also with all this noise.  That’s why they hire consultants to do it for them.

Imagine if this was a relationship with your friend or spouse.  Both of you are talking so loud that the neighbours can listen, but neither is listening.  And then one of you say, “What do you mean I don’t listen?  Of course I listen.  That’s why I brought my friend here to listen to you, so I don’t have to. I want to focus on yelling.”

Nuts.

Waiting for your chance to talk is not considered listening. Talking while the other person is talking is not listening.

Didn’t they teach this in kindergarten?

Menteng

pic via Ovanbaskara

Menteng dianggap gaul bukan karena bergengsi.

Sebab Menteng jadi tempat anak gaul sebenarnya sama saja dengan sebab mengapa tempat lain bisa dianggap gau: alun-alun di depan museum Fatahilah, Tebet, dan lain-lain.

Anak Jakarta (seperti anak muda di kebanyakan kota besar di seluruh dunia) butuh Social Space mereka sendiri. Inilah sebab mengapa 7 Eleven bisa meninggalkan Circle K dalam persaingan.  Inilah sebab mengapa Jl. Progo di Bandung sekarang mulai naik daun.  Anak muda butuh tempat di mana mereka bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa diganggu oleh orang luar.

Tentu saja definisi “orang luar” ini bisa jadi berarti orang tua, merek-merek, dan (bagi orang Bandung) orang-orang plat B.

Dan ini tidak mudah.  Penjajahan ruang terus terjadi secara langsung (orang Jakarta akan menemukan Jl. Progo dan merubahnya menjadi seperti Dago) dan tidak langsung (anak Bandung dulu lebih senang nongkrong di rumah-rumah, tapi karena harga properti terus naik, banyak rumah-rumah yang dijual, dan tempat nongkrong anak Bandung mulai bergeser ke pertokoan).

Demand untuk Social Space ini kadang menemukan supply yang cukup.  Saat ini terjadi, tempat gaul tidak akan tercipta.  Namun, terkadang persediaan di suatu area sangat terbatas.  Di saat seperti inilah demand akan mengalahkan supply, dan anak-anak muda akan menciptakan tempat gaulnya sendiri.  Di saat inilah tempat-tempat gaul terlahir.

Untitled

pic via Post-College Flowchart of Misery and Pain

Life owes you nothing.

Get what you want.

Give it all away.

Live and love fully

and let go.

Black unsweetened coffee makes desserts taste better.

Enjoy every drop.

 

Narkoba

pic via ayahbundaazzam.wordpress.com

Hari ini kudengar lagi seorang yang dianggap expert mengatakan bahwa sebab anak menggunakan narkoba adalah karena keluarga di rumah gak beres.

Ngaco.

Terutama karena penjelasan si expert adalah, “99% dari anak muda yang memakai narkoba, bila ditanya mengapa dia memakai narkoba akan mengatakan ‘karena di rumah bermasalah’.”

Hm, pernah dengar tentang post-purchase rationalization?  Ya ini sama saja. 

Produsen handphone biking handphone –> laku di kalangan anak muda–> tanya mereka kenapa laku –> “karena QWERTY” –> bikin HP QWERTY lagi –> gak laku –> bingung.

Dia lupa kalau mendengar jawaban bisa membutakan kita pada kenyataan. Anak muda beli HP merek tertentu karena teman-temannya memakai itu.  Simple as that. Kenapa elo pake BlackBerry?  Mau BBMan sama teman-teman yang lain. Kenapa elo pake IM3? Teman-teman gue pake itu semua.

Jadi, kenapa anak muda memakai narkoba? Ya karena lingkungannya memudahkannya.

Mau segila apapun keluarganya, kalau A) teman-temannya tidak ada yang memakai narkoba, dan B) susah setengah mampus untuk mendapatkan narkoba, ya anak itu tidak akan memakai narkoba.

Ada rasa takut yang berdasarkan insting sejak lahir, ada yang berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang terbentuk oleh lingkungan setelah lahir. Response Fight or Flight yang timbul ketika kita didekati hewan buas, misalnya, itu berdasarkan insting.

Takut pada hantu sepertinya masuk ke dalam kategori kedua.

Saya sendiri belajar untuk takut pada hantu ketika saya masih balita. Sundel Bolong, Kuntilanak, dan Leak adalah tiga cerita hantu yang pertama saya dengar. Cerita-cerita hantu pertama yang saya dengar semua tentang wanita cantik yang merongrong masyarakat setelah bertemu ajalnya. Yang menceritakan cerita-cerita hantu itu juga biasanya para wanita dalam hidupku: tante-tante dan para pembantu yang menggunakan cerita hantu sebagai ancaman untuk mendorong saya agar menuruti kata-kata mereka.

Hingga kini saya sering berpikir, bila kisah rakyat dan legenda adalah hasil distilasi dari nilai-nilai mendasar yang dipercayai oleh sekelompok masyarakat, nilai-nilai seperti apa yang tercermin dari cerita-cerita hantu Indonesia dan Asia?

Kenapa makhluk halus Asia yang mengganggu masyarakat cenderung perempuan berambut panjang? Padahal, rambut panjang kan biasanya dianggap sebagai lambang kecantikan. Apakah cerita-cerita tentang Kuntilanak, Sundel Bolong, Suster Ngesot, dan Si Cantik Jembatan Ancol sebenarnya merupakan luapan hasrat lelaki yang terpendam? Mungkin dorongan di dalam diri kami untuk mengejar para bidadari duniawi sangat kuat dan sangat dahsyat hinggga akhirnya kami pun takut pada hasrat buas kami sendiri. Kami berusaha menekannya ke dalam alam bawah sadar, tapi kemudian rasa takut ini tetap muncul kepermukaan setelah bermanifestasi menjadi cerita hantu wanita berambut panjang.

Jadi hipotesis saya: cerita-cerita hantu di Asia kebanyakan diciptakan dan diceritakan sebagai salah satu peranti pendukung sistem patriarkal yang telah mapan. Fear the power of women, begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan.

Sayangnya teori ini salah.

Saya tahu teori ini salah ketika saya menyaksikan sendiri dongeng ini menjadi nyata.

In the past months, I’ve had the luxury to travel Jakarta’s roads after the molasses-like traffic had cleared away. Night time had always been the perfect backdrop to listen to ourselves. I’m sure many people share this sentiment. There’s why there’s the tahajud prayer. That’s why some people seek inspiration by finding a secluded spot where city lights have faded, and just stare at the stars. We tilt our heads up—sometimes with our hands lifted in a prayer—looking for God, searching for far away answers, only to find it deep within ourselves.

I used to love driving in the early AM, right after a snowstorm. The streets of Hamilton, Ontario, Canada would be covered in powder white snow. My senses would be loaded as I slide the car around town. Maybe that’s another way to listen to our little voices. Either find a really quite spot, or distract our senses enough that they don’t interfere.

The average adult American used to watch 7 hours of television a day. This was before internet became as pervasive as it is today. The main reason for spending almost 1/3 of his life in front of the tube? “To wind down.”

This is not a critique against television. Indeed, such critiques are outdated. A large chunk of the world’s population has now substituted its favorite passive past time for something more interactive and social, albeit it’s still in front of a glowing screen.

“To wind down.”

Now, that’s the interesting part.

Winding down suggests doing an activity that’d take our minds off something that’s bothersome. The activity itself could be anything from watching television, to connecting with people online, to yoga, to window shopping, to anything. The activity would be something that’s significantly different than whatever it is that’s bothering us, and preferably, we’d be doing it with people who are unrelated with whatever it is that’s bothersome.

Winding down activities have their purposes in life. However, 7 hours a day?

What kind of thing would be so bothersome that it’d need that much time in a day just to “get it off our minds?” Problems at work? Marital challenges? Financial difficulties?

Here’s the obvious question: instead of spending 1/3 of your life winding down from the stresses of life, wouldn’t be better to just use some/all of that time to take care of whatever it is that’s bothering you?

Financial difficulties? Find extra income and ensure better bookkeeping.

Marital challenges? Find time to reconnect and rekindle the flame.

Problems at work? Invest time to better know your boss, colleagues, teammates, and other stakeholders.

Stop trying to take it easy on yourselves, and start getting rid of real, unnecessary stress causers.

And I write this, knowing full well that it’s not the average American that I’m appealing to here.

I’m appealing to myself.

Day 10 #30harimenulis

*

Seperti banyak warga Jakarta lainnya, salah satu akun Twitter yang saya follow adalah @tmcpoldametro. Dengan lebih dari 208 ribu pengikut, TMC Polda Metro Jaya menjadi sumber informasi yang pertama saya cek ketika akan menjajal buasnya lalin ibu kota dan ketika perjalanan terhambat karena macet berat. Lucu sebenarnya. Seakan-akan seandainya saja saya mengetahui mengapa jalanan macet bisa membuat jalanan itu menjadi tiba-tiba lancar.

Kata orang ada beberapa cara untuk mendapatkan banyak followers di Twitter. Salah satunya adalah seperti TMC, dengan memberikan informasi yang relevan, dan juga dengan menjadi platform untuk orang menyampaikan informasi. Ada juga orang-orang seperti Guy Kawasaki yang mengumpulkan banyak pengikut dengan menjadi kurator bahan yang menarik di internet. Ada yang diikuti banyak orang karena memang dia ahli dalam satu hal, dan dia secara konsisten nge-tweet tentang hal-hal seputar keahliannya itu. Dan tentu saja, ada juga yang diikuti orang karena dia memang selebriti di kehidupan nyata.

Oh, dan ada juga yang secara tidak sengaja menjadi tenar. Fifteen minutes of fame yang tidak diinginkan. Contohnya Mr. Timothy C. Poldaski. Saya bisa membayangkannya mencoba-coba Twitter, penasaran. “Apaan sih yang diomongin anakku ini?” begitu mungkin pikirnya. Lima menit setelah signup mungkin dia langsung menerima mention. Pertama-tama mungkin dia merasa senang, “Wah, ternyata ada juga teman yang kenal aku di sini.” Kemudian mungkin dia merasa kesal, karena ternyata mention ke dia dalam bahasa yang dia tidak mengerti. Kemudian, mention kedua masuk, dan ketiga, dan keempat, dan seterusnya.

Mungkin dia langsung merasa eneg dengan Twitter. “Ah, isinya SPAM semua!”

Atau, bisa juga dia penasaran sekali, dan mencoba menerjemahkan isi pesan yang tidak dimengerti melalui Google. Setelah setengah jam, dia sadar bahwa pesan yang diterima adalah tentang lalu lintas di Jakarta. Mungkin pada saat itulah dia memutuskan bahwa Twitter penuh dengan orang-orang absurd, dan kalau cukup sudah petualangannya di sini.

Inilah akibatnya kalau nama akun di Twitter yang kita pilih @tmcpolda. Poor Mr. Timothy C. Poldaski.

Sasaran favorit pesan nyasar di Twitter

Day 9 #30harimenulis

Saat saya pertama kali menatap wajah anak saya, tidak mampu rasanya menahan air mata haru. Matanya yang masih belum terbuka, jari-jemarinya yang mungil, mulutnya yang baru saja menangis dengan kerasnya: rasa bangga bercampur was-was memenuhi dada ini. Saya bangga karena Tuhan telah memberikan saya kepercayaan yang sangat besar: untuk membimbing anak ini sampai dewasa dan memenuhi potensinya yang luar biasa. Saya was-was karena khawatir gagal dalam memenuhi amanah akbar ini.

Yang tidak saya sadari adalah bahwa ada banyak perusahaan yang menangis haru sama seperti saya. Para produsen rokok: rasa haru mereka juga dipicu oleh sebab-sebab yang sama. Mata anak saya membuat mereka tersedak gembira mengingat banyaknya mata yang belum dipengaruhi oleh branding berbudget ratusan milyar mereka. Jari-jemari dan mulut anak saya yang baru bisa menggenggam dan mengulum juga membuat produsen rokok tersedak dan meneteskan air mata. “Lihat!” kata mereka. “Dari kecil pun genggamannya sudah pas untuk sebatang rokok. Kekuatan mulutnya menghisap ASI? Wah, bayangkan betapa banyak rokok kita yang akan singgah di situ nantinya.”

Para produsen rokok juga girang hingga haru ketika menyadari anakku peremuan: kebetulan inilah target demografis mereka saat ini.

Di seluruh dunia, tinggal dua negara yang pemerintahnya masih mengambil sikap lunak terhadap para penjaja racun: Zimbabwe dan Indonesia. Mengingat betapa besarnya potensi market Indonesia, dan mengingat alternative yang sama mudahnya hanya Zimbabwe, tentu para penjaja rokok juga bangga telah mendapatkan kepercayaan dari perusahaan induk untuk menjajal potensi besar negara ini.

*

Kalau bisnis anda bergantung pada kemampuan anda untuk membunuh pelanggan terbaik anda, anda harus menjadi ahli dalam pemasaran. Anda harus terus mendapatkan konsumen baru semuda mungkin, secepat mungkin, sebanyak mungkin. Maka itu saya mengernyit ketika mendengar juru bicara satu perusahaan rokok mengatakan “Rokok itu berbahaya. Kita harus memastikan anak-anak tidak menyentuhnya.” Ketika ditanya bagaimana dengan orang dewasa, dia melanjutkan, “kalau orang dewasa semestinya sudah dapat mengambil keputusannya sendiri.”

Unik. Dia seperti mengatakan kalau iklan dan segala usaha public relations yang dia lakukan itu tidak ada pengaruhnya terhadap keputusan calon korban/pembeli.

Jadi, selama ini anda menjadi salah satu media buyer terbesar di Indonesia hanya untuk iseng saja?

*

Dari jaman baheula, cara industri rokok beriklan sudah sering disorot. Sayangnya di Indonesia gerakan anti-rokok belum dapat menyerap jagoan-jagoan dari industri kreatif. Mungkin mereka takut di-blacklist oleh industri rokok dan kehilangan potensi sumber pendapatan? Iklan anti-rokok di Indonesia selama ini terasa hambar dan belum mengigit.

Kenapa belum ada iklan anti-rokok seperti ini di Indonesia?

Gerakan anti-rokok yang lemah, peraturan pemerintah yang seadanya, warning label yang memble (warning label kita lengkap tapi bertele-tele; bandingkan dengan warning label luar negeri: smoking kills), iklan rokok yang ada di mana-mana, semuanya menciptakan lingkungan yang mendukung untuk penjual rokok untuk berpesta pora di Indonesia.

Belum lagi pendekatan cuci otak yang lebih halus. Coba saja lihat tenants Sampoerna Strategic Square. Dental Clinic (gak apa-apa merokok, kalau rusak mulutnya, kan ada dokter giginya…), Boehringer-Ingelheim Pharmaceuticals (… obatnya juga pasti nanti ada kok …), Medsite (… malah kalau sakit karena merokok bisa berobat di sini …), Manulife (… dan kalau anda akhirnya mati meninggal karena rokok, yang penting kan sudah ada asuransi jiwa, jadi keluarga gak repot).

Parahnya, pre-school pun ada di situ. Frequency and intensity: dua faktor yang menentukan dalam efektifitas suatu usaha. Bayangkan apa yang terjadi ketika anak anda berkunjung ke Gymboree di Sampoerna Strategic Square tiga kali seminggu. Dari kecil dia sudah dibiasakan dengan nama Sampoerna dan dalam konteks yang menyenangkan pula. Frequency and intensity. Inilah pre-conditioning dimulai dari usia sedini mungkin. Satu-satunya cara untuk mulai lebih awal lagi adalah untuk mulai memberikan les pre-natal care untuk ibu-ibu hamil. Mungkin disuplementasi dengan rekaman yang dapat meningkatkan IQ bayi: Beethoven yang di sela-sela simphoninya terdengar “brought to you by Sampoerna.”

*

Mungkin sebagian dari tulisan membuat saya tampak meracau. Sayangnya, inilah yang sedang terjadi saat ini. Tanggal 27-29 Oktober 2010, konferensi besar para jagoan tembakau berjalan di Jakarta, dan kita tidak melakukan apapun tentangnya. Bahkan, terdengar bahwa perwakilan dari Kementrian Pendidikan Nasional pun hadir, entah untuk apa. Saya pun tak habis pikir, “Cara yang aneh untuk merayakan Hari Sumpah Pemuda.”