Archives for category: keseharian

Ada rasa takut yang berdasarkan insting sejak lahir, ada yang berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang terbentuk oleh lingkungan setelah lahir. Response Fight or Flight yang timbul ketika kita didekati hewan buas, misalnya, itu berdasarkan insting.

Takut pada hantu sepertinya masuk ke dalam kategori kedua.

Saya sendiri belajar untuk takut pada hantu ketika saya masih balita. Sundel Bolong, Kuntilanak, dan Leak adalah tiga cerita hantu yang pertama saya dengar. Cerita-cerita hantu pertama yang saya dengar semua tentang wanita cantik yang merongrong masyarakat setelah bertemu ajalnya. Yang menceritakan cerita-cerita hantu itu juga biasanya para wanita dalam hidupku: tante-tante dan para pembantu yang menggunakan cerita hantu sebagai ancaman untuk mendorong saya agar menuruti kata-kata mereka.

Hingga kini saya sering berpikir, bila kisah rakyat dan legenda adalah hasil distilasi dari nilai-nilai mendasar yang dipercayai oleh sekelompok masyarakat, nilai-nilai seperti apa yang tercermin dari cerita-cerita hantu Indonesia dan Asia?

Kenapa makhluk halus Asia yang mengganggu masyarakat cenderung perempuan berambut panjang? Padahal, rambut panjang kan biasanya dianggap sebagai lambang kecantikan. Apakah cerita-cerita tentang Kuntilanak, Sundel Bolong, Suster Ngesot, dan Si Cantik Jembatan Ancol sebenarnya merupakan luapan hasrat lelaki yang terpendam? Mungkin dorongan di dalam diri kami untuk mengejar para bidadari duniawi sangat kuat dan sangat dahsyat hinggga akhirnya kami pun takut pada hasrat buas kami sendiri. Kami berusaha menekannya ke dalam alam bawah sadar, tapi kemudian rasa takut ini tetap muncul kepermukaan setelah bermanifestasi menjadi cerita hantu wanita berambut panjang.

Jadi hipotesis saya: cerita-cerita hantu di Asia kebanyakan diciptakan dan diceritakan sebagai salah satu peranti pendukung sistem patriarkal yang telah mapan. Fear the power of women, begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan.

Sayangnya teori ini salah.

Saya tahu teori ini salah ketika saya menyaksikan sendiri dongeng ini menjadi nyata.

Day 10 #30harimenulis

*

Seperti banyak warga Jakarta lainnya, salah satu akun Twitter yang saya follow adalah @tmcpoldametro. Dengan lebih dari 208 ribu pengikut, TMC Polda Metro Jaya menjadi sumber informasi yang pertama saya cek ketika akan menjajal buasnya lalin ibu kota dan ketika perjalanan terhambat karena macet berat. Lucu sebenarnya. Seakan-akan seandainya saja saya mengetahui mengapa jalanan macet bisa membuat jalanan itu menjadi tiba-tiba lancar.

Kata orang ada beberapa cara untuk mendapatkan banyak followers di Twitter. Salah satunya adalah seperti TMC, dengan memberikan informasi yang relevan, dan juga dengan menjadi platform untuk orang menyampaikan informasi. Ada juga orang-orang seperti Guy Kawasaki yang mengumpulkan banyak pengikut dengan menjadi kurator bahan yang menarik di internet. Ada yang diikuti banyak orang karena memang dia ahli dalam satu hal, dan dia secara konsisten nge-tweet tentang hal-hal seputar keahliannya itu. Dan tentu saja, ada juga yang diikuti orang karena dia memang selebriti di kehidupan nyata.

Oh, dan ada juga yang secara tidak sengaja menjadi tenar. Fifteen minutes of fame yang tidak diinginkan. Contohnya Mr. Timothy C. Poldaski. Saya bisa membayangkannya mencoba-coba Twitter, penasaran. “Apaan sih yang diomongin anakku ini?” begitu mungkin pikirnya. Lima menit setelah signup mungkin dia langsung menerima mention. Pertama-tama mungkin dia merasa senang, “Wah, ternyata ada juga teman yang kenal aku di sini.” Kemudian mungkin dia merasa kesal, karena ternyata mention ke dia dalam bahasa yang dia tidak mengerti. Kemudian, mention kedua masuk, dan ketiga, dan keempat, dan seterusnya.

Mungkin dia langsung merasa eneg dengan Twitter. “Ah, isinya SPAM semua!”

Atau, bisa juga dia penasaran sekali, dan mencoba menerjemahkan isi pesan yang tidak dimengerti melalui Google. Setelah setengah jam, dia sadar bahwa pesan yang diterima adalah tentang lalu lintas di Jakarta. Mungkin pada saat itulah dia memutuskan bahwa Twitter penuh dengan orang-orang absurd, dan kalau cukup sudah petualangannya di sini.

Inilah akibatnya kalau nama akun di Twitter yang kita pilih @tmcpolda. Poor Mr. Timothy C. Poldaski.

Sasaran favorit pesan nyasar di Twitter

Day 5 #30harimenulis

Banjir di Jakarta yang semalam mematikan gerak lalu lintas ibukota telah surut. Pukul lima pagi ini ada beberapa tempat yang masih terendam (seperti beberapa ruas jalan kecil di daerah Buncit) dan tempat-tempat yang baru surut airnya (seperti di dekat Gandaria City). Langit sudah kembali biru dan mobil-mobil pribadi sudah mulai keluar dari sarangnya, seperti rayap yang siap menggerogoti pilar-pilar kesabaran warga Jakarta.

Saat saya sibuk mengarungi luapan air got semalam, sempat tergoda untuk membayangkan betapa asyiknya bila saya memiliki tongkat Nabi Musa. Kita semua memiliki radio internal yang bisa menangkap frekuensi keTuhanan, dan kita dapat merubah frekuensi itu menjadi keyakinan, kata-kata, dan tindakan. Nabi Musa dan tongkatnya berbeda. Dia dapat merubah frekuensi itu menjadi kekuatan luar biasa yang dapat membelah samudra.

Bila saya memiliki kemampuan itu, pasti tidak perlu basah-basah berendam dalam air sumber penyakit ini. Wah, kalau punya kekuatan seperti itu, macet pun tak perlu. Akan saya belah kemacetan Jakarta agar perjalanan lebih lancar.

Ada-ada saja.

Jaman nabi-nabi sudah lewat tapi tetap saja banyak yang menantikan keajaiban untuk terjadi. Orang-orang di Amerika, misalnya. Dalam perjalanan mereka keluar dari resesi, tetap saja mereka berharap agar The Feds mengeluarkan suatu mukjizat yang dapat tiba-tiba mengurangi periode derita mereka, seakan-akan suku bunga adalah tongkat Musa yang tinggal diketuk saja untuk membawa mereka ke tanah yang dijanjikan. Mereka terbiasa membelanjakan lebih banyak dari yang mereka hasilkan. Saat ini mereka hanya membelanjakan 94% dari penghasilan total, dan ini membuat mereka kocar-kacir. Betapa menderitanya hidup kita saat ini! jerit mereka.

Mereka menginginkan mukjizat untuk dikembalikan ke dalam kemaksiatan. Lucunya, kalau bisa, pasti Washington sudah memenuhi keinginan ini. Tapi Washington tidak bisa. Jaman nabi-nabi sudah lewat.

*

Kita pun sama saja. Kita duduk sendirian di dalam mobil pribadi—atau mungkin hanya ditemani supir—dan kita berkoar-koar kalau pemerintah Jakarta harus mengurangi kemacetan. Kalau saja kita menangkap betapa ironisnya situasi ini, mungkin kita bisa sedikit menikmati kemacetan dengan mentertawakan diri sendiri.

Padahal banyak yang bisa kita lakukan. Bersepeda di Jakarta memang bukan cara bergerak yang paling aman, tapi tetap menjadi opsi. Kendaraan umum juga bukan opsi yang paling nyaman, tapi bila para pengendara mobil berbondong-bondong memakai kendaraan umum secara konsisten untuk periode yang cukup lama, pemerintah akan tergerak untuk melakukan sesuatu. Saat kata-kata tak lagi cukup untuk mendorong pemerintah untuk berubah, saatnya untuk aksi, dan semua aksi yang baik dimulai dari diri sendiri. Saat komat-kamit tak mempan, saatnya untuk komit.

Atau, kalau kita sedemikian alerginya terhadap kendaraan umum yang sepertinya dapat menurunkan derajat sosial seseorang, setidaknya kita bisa membuat kendaraan pribadi kita sedikit lebih umum. Layak dicoba: setiap anda datang ke tempat pertemuan, umumkan kapan dan ke arah mana anda berencana akan pergi setelah meeting ini, dan tawarkan kesempatan pada mereka yang mendengar untuk ikut dengan anda. Siapa tahu bisa carpool sampai ke tempat tertentu.

*

Jaman nabi-nabi memang telah lampau. Sayangnya kita tak sadar kalau kita tidak butuh lagi mukjizat untuk menuju tanah yang dijanjikan. Tindakan nyata dan konsisten dari setiap orang, itu saja yang dibutuhkan.

Day 4 #30harimenulis

*

Tadi pagi saya sengaja mengenakan pakaian yang sedikit lebih stylish. Selain kegiatan biasa, mengajar di sebuah universitas dan siaran, ada dua pertemuan penting yang membutuhkan penampilan jaim.

Kemeja yang menurut labelnya dijahit By Appointment to Her Majesty The Queen dan manset yang saya beli di Tokyo; suit jacket abu-abu jahitan Pak Lawrence, tailor terbaik di Jakarta yang di tengah kesibukannya melayani para ambasador asing telah menyempatkan diri menyiapkan suit khusus untuk saya; jeans coklat Burberry. Sepatu koboi kulit ular, oleh-oleh dari Calgary, Canada. Entah kenapa, segala benda ini membuat saya merasa sedikit lebih spesial.

Ada-ada saja.

Saat ini, kemeja dan suit yang saya sebutkan tadi sudah basah kuyup dan terlilit di lengan kiri. Boots ular juga basah kuyup, dan ada di tangan kanan. Jeans coklat telah dilipat setinggi lutut agar tidak terendam banjir di daerah Kuningan: usaha yang sia-sia.

Saya berdiri di bawah guyuran hujan, menggigil dengan memakai baju serep yang juga sudah basah kuyup. Di samping saya ada seorang anak kecil yang menawarkan servisnya sebagai ojek payung. Kaos merahnya sama basahnya dengan kaos yang saya kenakan. Bibirnya menggigil, sama juga dengan bibir saya.

Saat saya menangkap matanya dengan mata saya, dia tersenyum. Dia melihat sudah tidak ada gunanya menawarkan payungnya pada saya. Kami sudah sama-sama dibasahi air hujan dan air cipratan mobil yang lewat di hadapan.

Ada sesuatu yang indah dengan saat ini. Kami warga Jakarta dipersatukan dalam satu kondisi. Disatukan derita? Entahlah. Senyumnya tidak tampak menderita. Demikian juga dengan senyum yang menghiasi bibir saya yang membiru.

Saya melanjutkan perjalanan kaki menembus hujan di ibu kota tercinta ini. Di ujung jembatan penyeberangan, saya temukan seorang peminta-minta bertangan satu duduk tergeletak. Lengannya yang masih ada terjulur ke depan, seakan memohon uang keprihatinan dari yang lalu-lalang di depannya, namun tak ada permintaan tolong dari mulutnya. Yang saya dengar darinya hanyalah keluhan dan omelan tentang kemacetan Jakarta.

Lucu, saya pikir, dia hanya duduk di sini, tak pernah sedikitpun merasakan sensasi kemacetan di kursi pengemudi. Tapi, dia pun tak mau ketinggalan untuk mengeluh tentang kemacetan.

Itulah keindahan kemacetan akibat banjir Jakarta. Pengemis pun dapat mengeluhkan dan menggerutu tentang hal yang sama dengan yang kaya.

Saya berdiri sekitar 30 meter dari tempat ini selama sekitar 1.5 jam menantikan taxi/ojek. Transjakarta tidak berfungsi

Tidak ada ojek, karena Senopati sekalipun terendam

Hero Kemang bisa menjadi tempat beli ikan paling fresh!

Day 3 #30harimenulis

*

Saya tiba-tiba terjaga dari tidur ketika kendaraan umum yang saya tumpangi berhenti mendadak. Sepertinya kami menabrak atau ditabrak sesuatu. Seperti penumpang lainnya di kendaraan yang cuma seperempat penuh itu, saya pun mencari tanda-tanda sebab kenapa kami terhenti. Sang supir sudah turun dari kursi pengendara, dan ada seorang polisi berseragam lengkap berdiri di sampingnya.

”Wow, cepat sekali polisi ini tiba di lokasi,” saya terkagum-kagum. Di luar tampak kemacetan menghambat laju aliran kendaraan yang sedang mengalir dari Bandung ke Jakarta di Senin pagi itu.

Pak Polisi dan Pak Supir berdua berjalan menuju ke mobil kecil yang nampaknya telah menabrak kendaraan umum kami.

Plat nomor mobil itu berwarna hitam, dengan satu bintang dan angka-angka berwarna perunggu. Ternyata Pak Polisi tadilah yang telah menabrak kendaraan kami.

Dua menit kemudian Pak Supir kembali duduk di kursinya. Dia terlihat bingung dan gusar pada saat bersamaan.

“Dia yang menabrak, kok SIM saya yang ditahan?“ katanya.

Sekilas dia menengok ke belakang, dan kemudian segera membawa kendaraan kami dengan sangat agresif, keluar masuk dan memaksakan menyalip kendaraan-kendaraan yang dengan lambat bergerak di jalan tol itu.

”SIM saya dibawa! Dibawa!“ katanya panik.

Ternyata ketika Pak Supir berdiri di luar tadi, Pak Polisi memerintahkannya untuk menyerahkan SIM-nya. Kemudian, Pak Supir diminta kembali ke dalam kendaraan. Saat itu, Pak Polisi langsung pergi meninggalkan lokasi.

”Kalau gak ada SIM, saya boleh kerja!” lanjut Pak Supir dengan panik. Dia masih menyetir dengan agresif, mencari-cari mobil polisi yang tadi.

Para penumpang pun mulai brainstorming cara membantu Pak Supir. Mulai dari melaporkan ke media, sampai menggunakan backing yang ada di Mabes, hingga mengumpulkan uang untuk membantu Pak Supir membuat SIM baru. Pilihan satu dan dua sedikit susah, karena Pak Supir tidak tahu nama Pak Polisi. Tinggal pilihan ketiga.

Sembari diskusi, saya menelepon kantor penyedia kendaraan umum ini untuk melaporkan kejadiannya. Setidaknya semoga bisa mengurangi masalah Pak Supir.

Sekitar lima kilometer kemudian kami temukan mobil Pak Polisi sedang meluncur dengan lambat. Mungkin dia memang sengaja menunggu kami.

Kendaraan Pak Polisi dan Pak Supir menepi. Seorang penumpang berkostum ustad (kopiah putih, sedikit berjenggot, berbicara dengan banyak bumbu bahasa Arab) mengatakan kepada Pak Supir, ”Sudah, sama-sama saya turunnya. Nanti kita minta maaf.”

Mereka berdua turun mendekati mobil Pak Polisi. Beberapa menit kemudian mereka kembali lagi. Pak Supir terlihat puas dengan SIM kembali di tangan. Pak Tampak-Seperti-Ustad juga tampak puas. ”Alhamdulillah,” katanya.

Di negara ini, mungkin inilah kondisi terdekat dengan sebuah happy ending yang bisa kita bayangkan. Sayang sekali.

Saya sendiri masih bertanya-tanya, kira-kira bagaimana mereka meminta maaf kepada Pak Polisi?

”Pak, maaf sekali tadi kami ditabrak bapak.”

Dan bagaimana Pak Polisi kira-kira menjawab?

”Iya, makanya! Awas lho, jangan sampai lain kali ditabrak saya lagi!”

? ? ?

SIM dikembalikan oleh polisi

Day 1 #30harimenulis



Cara memasuki ruangan.  Cara bertatap mata.  Cara berjabat tangan.

Dari tiga hal sederhana ini, kita akan dikelompokkan oleh seseorang yang baru saja kita kenal ke dalam salah satu kategori buatannya sendiri.  Macam-macam kategorinya tergantung pada dorongan hewani yang telah terbentuk oleh proses evolusi yang termutasi oleh pengalaman pribadinya sejak lahir.

Itu juga yang saya lakukan ketika bertemu seseorang yang baru.

Terkadang pengalaman seterusnya dengan orang yang baru dikenal itu akan membuat saya menampik kesan pertama yang telah hinggap.  Namun, sering kali pengalaman seterusnya malah memperkuat kesan perdana.

Kesan pertama yang saya dapatkan saat berjabat tangan dengan Pak J, anggota DPRD dari salah satu daerah Indonesia Timur: seperti menggenggam tangan hantu.  Tangannya ringan, tanpa substansi, dan sedikit terlalu halus untuk seorang lelaki.  Perlu flexibilitas mental extra untuk menjaga agar karakternya jangan dulu tergelincir masuk ke dalam salah satu sumur gelap kategorisasi.

“Tahan dulu penilaianmu,” ujar saya dalam hati.  “Akan sulit bekerja sama dengan seseorang yang tidak kita hargai, dan siapa tahu suatu hari nanti kita akan perlu kerja sama dengannya.”

Saat itu saya sedang menantikan calon yayasan rekanan di kafetaria Nusantara 1.  Kita akan bersama-sama melobi salah satu perwakilan daerah Indonesia timur—bukan Pak J—untuk menghentikan explorasi tambang emas yang sudah mulai dilakukan oleh suatu perusahaan Australia di sebuah taman nasional.  Saya ditemani oleh Pak V.  Jahitan luka berbentuk bulan sabit di kepalanya—hadiah dari keroyokan massa di daerah Ketapang seminggu yang lalu—seperti sebuah tanda pengabsahan bahwa dia layak hadir di gedung beratap punggung kura-kura ini. Dia nampak nyaman dilingkungan ini.

Entah apa antonim dari kata ”nyaman” tapi itulah yang saya rasakan pada saat itu.

Mungkin cara orang-orang di sekitar bercakap-cakap: hangat, bersahabat, bibir dihiasi senyum, namun mata penuh kalkulasi.  Mungkin athmosfeel kafetaria itu sendiri, yang menyesakkan seperti dipenuhi asap rokok, walau tak ada satupun orang di meja sekitar yang memegang rokok.  Entah apa sebab utamanya, namun saya tidak bisa berhenti menggeserkan pantat di atas kursi, manifestasi dari ketidaknyamanan.

Saat Pak J datang menyapa Pak V dan mempersilahkan dirinya sendiri untuk duduk di meja kami, saya berhasil menahan diri dari memberikan penilaian pertama padanya.  ”Di tempat tak nyaman seperti ini, bertemu siapapun, penilaian pertama pasti akan bias ke arah negatif,” begitulah rasionalisasi saya.

Sesungguhnya saya ingin merasa nyaman di tempat itu.  Saya ingin merasa nyaman di dekat Pak J.  Pak J dan orang-orang lain yang ada di kafetaria itu adalah orang-orang yang telah dipilih oleh saudara-saudara sebangsa.  Merekalah perwakilan kami, dan perwakilan saudara-saudara saya otomatis menjadi perwakilan saya juga.  Merekalah pejuang aspirasi kami.  Merekalah personifikasi harapan dan impian dari berbagai daerah di Indonesia.  Bila saya tak merasa nyaman di tempat itu, mungkin sayalah yang terlalu asing.  Mungkin saya telah merantau ke negeri orang terlalu lama hingga saya bukan lagi bagian dari ”kami” dan ”kita”-nya Indonesia.

Saya sengaja menenggelamkan diri dalam pemikiran-pemikiran yang setengah absurd ini agar tak usah memperhatikan Pak J.  Ini satu-satunya cara agar saya dapat menahan diri dari mengelompokkannya ke dalam kategori yang buruk.  Toh, penilaian tak akan bisa objektif karena pengaruh lingkungan sekitar pada saat itu.

Sepertinya kami bertiga sedang terlibat dalam suatu pembicaraan, entah apa.  Saya hanya tersenyum dan mengangguk, dan itu sudah cukup memuaskan Pak J untuk terus berbicara.

Dan dia terus bicara.

Dan bicara.

Dia mengambil sebatang tusuk gigi dari tengah meja.  Sembari menekankan ujung kayu kecil yang tajam itu di antara giginya, dia terus berbicara.

Dan bicara.

Dan mengorek-korek.

Dan bicara.

Dia berhenti sebentar untuk memperhatikan potongan makanan apa saja yang sudah tertancap di ujung tusuk gigi.  Dengan jempolnya ia dorong serpihan-serpihan makanan yang melekat.  Setelah semua kotoran terlepas pun jempolnya masih mendorong-dorong ujung kayu yang telah menghitam itu, seolah tengah mengasah sebuah perkakas kesayangan.  Matanya terfokus ke ujung jempolnya yang sedang sibuk bekerja, dan walau saya berusaha membuang muka, mata tetap tak bisa lepas dari apa yang sedang dilakukannya.

Akhirnya dia puas.  Dia mengangkat wajahnya untuk meneruskan pembicaraan.  Kata-kata mulai kembali meluncur dengan bebasnya, tanpa terhalang tusuk gigi.  Saya mulai memberanikan diri menatap wajahnya saat berbicara.  Saat itulah dia memasukkan tusuk gigi yang sudah dibelai-belai jempolnya ke dalam telinga kanannya.

Dan dia terus berbicara.

Dan mengorek-korek.

Dan bicara.

Dia melihat mata saya yang terbelalak ngeri dan mengartikannya sebagai sinyal bahwa saya tertarik dengan apa yang sedang dibicarakannya.  Dengan penuh semangat, dia meningkatkan intensitas pembicaraannya.  Dan korekannya.

Bila ada yang mencubit saya pada saat itu sekalipun, kurasa saya tak akan sadar.  Seluruh realita pribadi pada saat itu terfokus pada tangannya yang besar yang dengan giatnya memutar-mutar ujung tusuk gigi di dalam lubang telinganya.

Ada pikiran kecil yang bermain-main di otak saya: Pantesan pemerintah gak dengerin rakyat.  Tingkahnya kayak gini gimana bisa gak budeg!

Pak V menyenggol saya dengan sedikit kencang, dan saya pun menutup mulut yang tengah ternganga.

”Ayo, Pak Ghani.  Sepertinya teman-teman dari yayasan rekanan sudah sampai,” katanya.

Kami pun berdiri.  Sambil berpikir tentang validitas dan signifikansi kesan pertama, saya raih tangan perwakilan saya itu, dan saya ucapkan selamat tinggal.